“Na Willa: Mari Mengenan yang Tinggal dari Hal-Hal yang Tanggal” (Ulasan buku Na Willa [1] Karya Reda Gaudiamo)

 



Oleh: Fikri A. Gholassahma

 

Sore kemarin lusa di penghujung bulan puasa ini (sejak saya mencoba menulis ulasan), kurir dari sebuah ekspedisi pengiriman paket mengetuk pintu kamar saya yang berada di samping gang. Kiriman paket dari Téh TC telah datang, sudah barangtentu isinya buku dan saya betul-betul girang karenanya. Dari beberapa judul di paket itu, ada satu buku yang sangat bikin semangat: bersampul merah, berukuran sedang, berilustrasikan seorang anak kecil dengan rambut kepang dua memakai baju kuning tersenyum lucu, ya, itu Na Willa.

Na Willa adalah karya Reda Gaudiamo. Reda adalah seorang pemusik, bersama Ali Malibu (alhmarhum) ia membentuk duet saat tahun kedua kuliahnya, termasyhur dengan nama “AriReda.” Menyanyikan musikalisasi puisi atas puisi dari para penyair tanah air—setahu saya, di antaranya yang saya dengarkan adalah musikalisasi puisi-puisinya Sapardi Djoko Damono. Belakangan saya baru tahu bahwa Reda juga adalah seorang penulis, beberapa karyanya adalah cerita untuk anak-anak, salah satunya berjudul Na Willa (yang kini sudah ada dua jilid).

Buku setebal 113 halaman ini terfragmentasi ke dalam 37 cerita. Pertama terbit tahun 2012 oleh penerbit Aikon. Saya baca Na Willa edisi baru yang diterbitkan oleh penerbit Post Press tahun 2018, sebuah penerbit independen yang sekaligus mempunyai sebuah toko buku di Pasar Santa, Jakarta. Setiap cerita berhiaskan ilustrasi ciamik dari illustrator Cecilia Hidayat.

Mengisahkan jagat keseharian seorang anak bernama Na Willa, akrab disapa “Willa.” Rumahnya berada di tengah sebuah gang kecil, bila mana didatangi dari dua ujung kiri dan kanan gang, pastilah akan melawati delapan rumah. Kisahnya sederhana, meliputi keseharian Willa dan hubungannya dengan orang-orang di sekelilingnya: ihwal rumah; hal-hal yang ia sukai; membaca buku cerita bergambar, bermain masak-masakan, boneka, kelereng, menerbangkan laying-layang, mengejar kereta; kedua orang tuanya (Mak dan Pak); Mbok; teman-temannya: Ida (Farida), Dul dan Bud; apa yang terjadi di gang, hingga saat-saat hari mulai bersekolah ke taman kanak-kanak dan sempat gagal pada percobaannya yang pertama.

Sebagaimana anak pada umumnya Willa anak ekspresif dan jujur bagaimana adanya. Dalam fragmen cerita pertama yang berjudul “seperti Mak”, Willa kesal karena Mbok bilang semua anak perempuan akan menjadi seperti bapaknya, lalu anak laki-laki akan menjadi seperti ibunya. Ia ingin rambutnya mirip ibunya, tidak mau seperti rambut sang ayah.

“Tapi aku ingin rambutku seperti Mak. Berombak, berbelok-belok. Tidak seperti rambut Pak yang lurus dan kaku. Waktu aku bilang ini pada Mbok, dia tertawa terbahak-bahak. Katanya, kalau aku tumbuh besar nanti aku akan berkulit putih, bermata sipit, dan rambutku akan tumbuh kaku-lurus. Aku tidak suka dengan omongan Mbok. Aku bilang, aku anak Mak. Jadi aku akan seperti Mak: kulit coklat, rambut berombak, belok-belok…” (hal 1).

 

Wala terkesan sederhana, dalam keseharian Willa ternyata banyak juga hal krusial yang musti jadi bahan renungan kita, seperti pada fragmen berjudul “warno” (hal 16), ada tetangga Willa seorang anak difabel bernama Warno, kerap berteriak saat Willa lewat ke depan rumahnya sendirian dengan ejekan “asu Cino!”, Willa memang ada keturunan Tionghoa dari ayahnya. Satu dari sekian banyak sentimen rasial yang memang kerap kita dapati sedekat itu di kehidupan nyata.

Juga ada kalanya pembaca ikut pilu saat sebuah tragedi menimpa Dul, yang kakinya putus karena terlindasa kereta saat bermain, di fragmen berjudul “mengejar kereta.” Dan bagian cerita saat Dul menunjukkan kaki palsunya di rumah sakit malah dengan ekspresi riang, tiba-tiba dada jadi sesak.

Ada juga masalah perkawinan paksa yang sering kita dapati pada adat lama, bikin hati meringis, di fragmen “pesta”, “pengantin” dan “malam pesta”, saat Mbak Tin (kakak Ida) bermata sembab bekas menangis, tentunya bukan karena bahagia. Juga soal isu tolerasi antar umat beragama yang memang harus dikenalkan sejak dini kepada anak, tercermin pada fragmen “sore ini.” Saat Willa diperbolehkan untuk ikut melihat Ida dan anak-anak lainnya belajar mengaji.

Untuk Anak, apalagi buat Orang Dewasa

Terkadang saya senyum sendiri saat anak-anak punya jawaban tersendiri akan satu perkara. Imajinasinya liar, namun lucu. Seperti saat Willa membayangkang bahwa ada orang-orang berbadan kecil di dalam radio yang bernyanyi dan mengobrol (di fragmen “radio #1”). Atau kala Willa terheran-heran kenapa Mbak Tin tidak mau kawin, padahal dalam pandangan Willa, kawin itu menyenangkan.

“Tidak mau kawin? Lucu sekali! Aku mau! Pakai baju panjang, mengkilap-kilap, pakai mahkota, pakai lipstik…” (hal 64).

Rasa penasaran dan keingintahuan pada anak bisa melampaui apapun, bahkan dirinya sendiri dan hal-hal besar lain di luar dirinya. Saya ingat Jostein Gaarder dalam novelnya yang berjudul Dunia Sophie (2014) buat satu simile soal perbedaan elementer anak-anak dan orang dewasa atas respon keduanya pada pandoras box (kotak pandora). Anak-anak akan selalu suka kotak pandora, karena penasaran apa isinya atau apa yang bakal muncul dari kotak tersebut. Sedang orang dewasa membencinya sebab rasa khawatir dan ketidakpastian akan apa yang bakal muncul darinya. Ya, orang dewasa benci akan hal-hal yang tidak pasti.

Seperti saat Willa yang sering mengotak-atik tombol putar pada radio untuk mencari gelombang (di fragmen cerita “radio 1#”). Willa suka sembarang saja memutarnya, ia menyukai suara kresek-kresek yang yang berakhir dengan suara “nguiiiing” yang melengking. Tapi ibunya tidak menyukai itu karena bikin sakit telinga. Namun saya kira itu bukan sebatas tentang mengganggu pendengaran semata.

“Mak bliang, jarum itu menunjukkan gelombang radio yang tepat… kalua jarum berhenti di tempat yang salah, keluar bunyi keresek-keresek, lalu nguiiiiiiiiing! Aku suka kalua bunyi itu keluar. Tapi Mak tak suka. Sakit di telinga katanya. Mak paling tahu di mana jarum harus berhenti” (hal 45).

Orang Dewasa melewati fase tahu, mengetahui dan meyakini kepastian tentunya setelah melewati fase-fase epistemik pada proses belajar dan perenungan di keseharian. Ini mungkin naluriah dan hal yang niscaya, tapi siapa tahu? Barangkali keyakinan orang dewasa yang berdasarkan pengetahuan ini juga, semata jadi menjengkelkan saja bagi anak-anak yang punya cara sendiri untuk mengetahui sesuatu. Seringnya pada keyakinan menentukan sesuatu dengan oposisi biner “benar” dan “salah.”

Saya jadi ingat kisah Pangeran Cilik (Le Petit Prince) dari Antoine de Saint-Esupéry (2020), dan sering jadi malu sendiri karenanya. Di kisah tersebut, pada pengembaraannya dari satu asteroid ke asteroid lainnya, Pangeran Cilik kerap bertemu orang dewasa di perjalanannya dengan beragam profesi dan pandangan hidup. Tapi di matanya semua menjadi “orang dewasa itu memang amat ganjil,” walaupun ada satu saja ucapan “orang-orang dewasa benar-benar sangat luar biasa.”

Atau kisah tragis yang menimpa si narator, dalam usia enam tahun, ia terpaksa membuang bakat cemerlangnya dalam melukis, karena orang-orang dewasa tidak mengerti apa yang ia gambar. Ketimbang menggambar tidak jelas, ia malah dinasehati untuk lebih banyak memperhatikan ilmu bumi, sejarah, ilmu hitung dan tata bahasa. Dalam sudut pandangnya, orang dewasa menjelma sesuatu yang membosankan.

“Orang dewasa tak pernah mengerti apa-apa sendiri, maka akan sungguh menjemukan bagi anak-anak, perlu memberi penjelasan berulang-ulang” (Esupéry, 2020: hal 9).

Ihwal kebiasaan memutuskan sesuatu dalam oposisi biner, orang dewasa biasanya juga benci bila dianggap salah dan tidak mau kalah. Ini terjadi juga dalam kisah Willa ketika kali pertama ia masuk taman kanak-kanak (fragmen “ibu tini”). Willa yang memang sudah belajar membaca dan menulis bersama Maknya di rumah, bersikeras dengan kemampuannya. Sayangnya Bu Tini (guru kelasnya) malah nganggap sepi, lalu marah dan menghukumnya.

“Aku benar-benar bisa menulis, Bu!”. “Tak ada anak-anak yang bisa menulis sebelum dia sekolah. Kamu juga tidak bisa. Sana duduk,” katanya dengan suara lebih keras dari tadi. Aku tetap berdiri, memegang ujung mejanya. “Tapi aku bisa, Bu!” (hal 83).

Begitulah kurang-lebih realita dari sudut pandang anak-anak atas makhluk bernama “orang dewasa menyebalkan”.  Saya kira kita semua pernah merasakan ini di perjalanan hidup yang belum seberapa ini. Sejak kecil hingga dewasa, mungkin kita pernah bertemu mereka dan dibikin kesal karenanya, ia dapat mewujud dalam sosok: orang tua, saudara, guru, tetangga, atau siapapun. Tapi alih-alih kita membenci orang dewasa macam itu, tanpa sadar kita juga sedikit demi sedikit jadi seperti mereka karena bermacam desakan dari sana-sini.

Meminjam tiga alasan sekaligus permohonan maaf Esupéry di halaman persembahan bukunya (Esupéry, 2020: hal 4), Ia menghaturkan bukunyna untuk orang dewasa, sebab menurutnya orang dewasa itu adalah teman yang terbaik di dunia. Lalu, karena orang dewasa juga punya kemungkinan untuk memahami segalanya (?), termasuk buku untuk anak-anak. Ia juga menyebutkan bahwa karena orang dewasa itu seringkali merasa lapar dan kedinginan, karenanya mereka betul-betul perlu untuk dihibur. Atau jika semua alasan itu tidak cukup kuat, ia tegaskan untu mempersembahkan bukunya kepada anak-anak yang kemudian akan menjadi orang dewasa. Semua anak pernah menjadi orang dewasa walau hanya sebagian kecil dari mereka yang mengingatnya.

Bagi saya, Na Willa yang Mbak Reda tulis ini—seperti juga saat membaca Pangeran Cilik—adalah sebuah taman bunga di tengah rerimba hidup beserta hal-hal pelik di dalamnya. Baik untuk dibaca anak-anak yang akan menjadi dewasa, ataupun untuk orang dewasa itu sendiri. Sambil kembali mengingat hal-hal menyenangkan yang pernah kita lalui dan tak akan pernah bisa digapai lagi, siapa tahu bisa jadi bahan untuk menyusun kembali harapan yang pernah tanggal: esok lusa saat hidup masih harus terus berjalan, saya atau barangkali anda semua tak terlalu mewujud jadi orang dewasa yang menyebalkan bagi anak-anak.***

*)Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat di web resensie.com empunya Mang Abdul Hamid Sumantri. Saya lampirkan juga di sini untuk ngaramékeun blog wé.

Komentar