"Adakah Kesempatan Kedua dalam Seratus Tahun Kutukan?” (Ulasan 100 Tahun Kesunyian Gabreil Garcia Marquez)

 Oleh: Fikri A. Gholassahma*


Ketika hujan mulai turun di Pameungpeuk setelah kemarau panjang, di belahan dunia yang lian, Ursula sedang menunggu kematiannya di penghujung hujan deras yang mengguyur Macondo terus-menerus selama 4 tahun, 11 bulan lebih 2 hari. Saya baru sampai bagian hujan panjang itu Jum’at lalau, dan mengakhiri novel Seratus Tahun Kesunyian ini di Minggu sore yang sendu.

Ini percobaan ke dua saya membaca novel karya Gabriel Garcia Marques. Kali pertama usaha membacanya, saya dapat pinjam dari Om Hafidz, edisi terbitan Bentang Budaya dengan desain jilid kebiruan ditambah rumah tua, hijau rimbun pohon kastanye (?) yang menggantung di tanah terapung. Versi ini merupakan terjemahan Nin Bakdi S. Saya tidak menamatkan yang versi ini karena keburu terserang rasa malas yang membatu.

Percobaan ke dua datang juga dari wasilah Om Hafidz. Saat saya mengantarkan pesanan bukunya dari Pustaka Azimut-nya Mang Iman, saya melihat novel ini lagi di lemari bukunya Om Hafidz dengan penampilan yang berbeda. Konon yang versi ini adalah terjemahan dengan izin resminya. Di tahun 2018 pertama terbit oleh penerbit Gramedia, penerjemahnya Djokololeno, denga tebal mencapai 483 halaman.

Ia menerjemahkan ke Bahasa Indonesia dari versi terjemahan Bahasa Inggris “One Hundread Years of Solitude,” oleh Gregoryy Rabasa dari versi bahasa Spanyol, “Cien anos de Soledad (1967).” Saat saya dapat versi yang baru, tak langsung membacanya kala itu, karena terlanjur sudah ada daftar bacaan yang sedang saya coba tuntaskan.

 Novel ini menceritakan kisah tujuh turunan keluarga Buendia di sebuah kota imajiner bernama Macondo. Dimulai sejak Jose Arcadio Buendia beserta istrinya Ursula Iguaran juga beberapa orang lain dari kampung halamannya mencari sebuah tempat yang terpencil, hingga pada akhirnya rombongan itu memutuskan untuk menetap dan membuat perkampungan yang kelak menjadi Kota Macondo dengan segala kisah hingar bingar dan haru-birunya.

Jose Arcadio Buendia adalah seorang lelaki tekun dengan sejuta ide gila di kepalanya, selalu penasaran dan penuh hasrat untuk menguak misteri-misteri kehidupan. Ia punya sahabat karib seorang gipsi bernama Melquiades. Dari Melquiades dan kelompok gipsinya inilah rasa penasarannya untuk menguak bermacam misteri semakin memuncak. Jose Arcadio Buendia dan Ursula Iguaran sebetulnya masih ada hubungan kerabat.

Keputusan keduanya untuk menikah menuai protes dari kedua belah pihak keluarga, yang percaya akan mitos bahwa di keluarga tersebut bila mana terjadi perkawinan sedarah, buah dari perkawinan itu akan melahirkan anak yang berekor laiknya ekor babi. Karena hal ini jugalah mereka memutuskan untuk pindah dari kampung halaman yang sebelumnya.

Uniknya perkembangan kota ini hampir selalu bersamaan terjadi persis dengan apa yang terjadi dalam rumah besar keluarga Buendia. Dari mulai restorasi besar-besaran terhadap arsitektur rumah yang dilakukan Ursula, hingga polesan-polesan lainnya yang dilakukan keturunannya, wabah insomnia yang ditularkan lewat permen-permen produksi rumahan Ursula dan luput dari pengawasan, lalu didistribusikan ke kota.

Bersamaan terjadi dengan segala macam perkembangan kota; mewabahnya penyakit susah tidur dan lupa akan waktu, terciptanya toko-toko, bar ataupun café, hingga rumah bordil, pemberontakan dan perang saudara, jauh sampai kereta api pertama tiba di sana, dan berdirinya pabrik pisang kelak sebelum nantinya hancur porak-poranda oleh pemogokan karyawan dan hujan ganas menahun.

Membaca Seratus Tahun Kesunyian, adalah membaca kisah panjang keluarga Buendia dan kota imajiner Macondo, hingga kau jumpai hal mengagetkan dari awal hingga akhir kisah panjang tersebut.


Gabriel Garcia Marquez dalam Sastra Amerika Latin


Saat saya mencoba menyelami satu demi satu lembar novel ini, saya merasakan beberapa hal familiar. Terutama pada atmosfer magis dalam cerita ini. Hal-hal di luar nalar (sekalipun dalam nalar fiksi?) pada novel ini mengingatkan saya akan novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan dan Rumah Arwah karya Isabel Allende. Konon Eka Kurniawan sedikit-banyaknya tersibghah oleh Garcia Marquez.

Gabriel Garcia Marquez (1928–2014) pengarang asal Kolumbia ini mendapat hadiah Nobel Sastra pada tahun 1982. Ia dianggap sebagai yang memopulerkan aliran realisme magis dan empu dalam sastra berbahasa Spanyol setelah Miguel de Cervantes penulis cerita Don Quixote de la Mancha (Anton Kurnia, 2006, dalam Ensiklopedi Sastra Dunia: hal. 70). Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam kurang lebih 30 bahasa. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Meksiko dan Eropa.

Pernah berkuliah di Universitas Bogata mengambil jurusan Ilmu Hukum, tetapi tidak rampung. Kemudian ia pernah bekerja menjadi jurnalis di sebuah harian Kolumbia bernama El Espectador dan menjadi responden koran tersebut di Roma, Paris, Barcelona, Caracas dan New York.

Anton Kurnia (2006: 70) telah menghimpun beberapa judul karya Garcia M̒arquez, antara lain lain El-Coronel no tiene quien le escribe (1956; diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai No One Writes to the Colonel, 1968), Cien an͂os de Soledad (1967, One Hundread Years of Solitude), El oton͂o del patriarca (1975, The Autumn of the Patriach, 1976), Crónica de una muerte anunciada (1981; Cronicle of a Death Foretold, 1983), El amore n los tiempos del cólera (1985; Love in the Time of Colera, 1988), dan lain-lain.

Karya-karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indoneisa, anatara lain Tumbangnya seorang Diktator (1992, oleh Masri Maris), Selamat Jalan, Tuan Presiden (1999, oleh Ruslani), Badai Daun (oleh Helmi Mahadi, dkk), Seratus Tahun Kesunyian (2002, oleh Max Arifin, kemudian oleh Nin Bakdi S, dan teranyar oleh Djokololeno pada tahun 2018), Caldas (2002, oleh Rizadini, diterjemahkan dari The Story of A Shipwrecked Sailor), Klandestin di Cile (2002, oleh Rizadini Haryanto), cuplikan novel Cinta di Waktu Kolera dalam antologi Cinta adalah Kesunyian (2002, terjemahan Anton Kurnia) yang kini terjemahan lengkapnya sudah diterbitkan oleh penerbit Gramedia, dan Seorang Jendral dalam Labirinnya (2004, oleh Sri Dwi Hastuti).

Garcia Marquez merupakan bagian dari penulis era boom-Sastra Amerika Latin. Ronny Agustinus dalam tulisannya yang berjudul Fiksi Amerika Latin Pasca-Boom (2017, hal.1), menjelaskan bahwa, “boom Sastra Amerika Latin secara umum merujuk pada terjadinya fenomena lonjakan penerbitan dan pembacaan karya sastra Amerika Latin di aras internasional pada periode 1960-han sampai 1970-han.” Fenomena ini menurut Ronny, bisa ditelisik degan setidaknya pada tiga dimensi. Dimensi pertama, yaitu dimensi sastra. Pada era 1950-an, muncul generasi penulis muda yang megambil jarak dari gaya narasi era-era sebelumnya yang bersifat realis-naturalis, costumbrista (menggambarkan detail-detail adat setempat laiknya paparan etnografi), nasionalis, dan regionalis (Agustinus, 2017).

Penulis-penulis muda tersebut mematangkan karyanya pada era 1960-an, dan yang masyhur dikategorikan penulis-penulis boom, mencakup di antaranya: La muerte de Artemios Cruz (1962) oleh Carloz Fuentez (Meksiko), La Ciudad y los perros (1962) oleh Mario Vargas Llosa (Peru), Rayuela (1963) oleh Julio Cortazar (Argentina), La casa verde (1966) Vargas Llosa, dan Cien anos de Soledad (1967) oleh Gabriel Garcia Marquez (Kolumbia).

Dalam karya-karya tersebut ada ciri naratif yang tidak didapati dari pada era sebelumnya. Seperi pemakaian berbagai macam sudut pandang, dua atau lebih narasi yang berlainan ruang, tetapi diceritakan berturutan dari satu baris/paragraph ke baris/paragraf berikutnya dengan gaya montase, intertektualitas atau keterkaitan antar teks; teks di dalam teks (dan ini bukan berarti Gabo yang memulai gaya ini, jauh hari sebelumnya Borges dan bahkan Cervantes telah memulainya), dan “realisme magis” (walaupun di era sebelumnya telah ada beberapa penulis yang membawa nafas realisme magis) untuk menampik realisme tradisional era sebelumnya, di mana beberapa penulis baru ini, mencampurkan yang-realis dengan yang-magis dalam narasinya, dan puncaknya adalah keberhasilan novel Cien anos de Soledad karya Garcia Marquez. (Agusinus, 2017: hal.2).

Dimensi kedua dari fenomena boom ini menurut Ronny (2017) adalah dimensi politik. Dimensi ini tidak akan terjadi kecuali ada internasionalisasi dari watak para penulisnya, dan secara politik, internasinalisme ini lahir karena dipicu oleh Revolusi Kuba 1959. Dan oleh karena itulah karya-karya boom menjadi sangat politis dan dengan caranya masing-masing mempersoalkan kediktatoran politik. Dimensi ketiga, adalah dimesi ekonomi. Boom berarti juga lonjakan penjualan karya sastra ke tingkat yang belum ada presedennya.

Faktor ekonomi ini dimungkinkan karena dua hal: Penerbit Seix Barral dan agen sastra Carmen Barcell, keduanya terletak di Barcellona dan aktif mempromosikan karya-karya Amerika Latin ke pembaca Eropa dan Dunia. Boom sendiri menurut Ronny bermula pada 1962 denga kemenangan novel Mario Vargas Llosa La ciudad y los perros dan berakahir pada 1970 ketika Carlos Barral pecah kongsi dengan Victor Seix dan Premio Biblioteca Breve (sebuah anugrah sastra yang diberikan oleh penerbit Seix Barral) ditangguhkan penganugrahannya.

Mengutip lagi Ronny Agustinus (2017: hal.6), boom sastra Amerika Latin ini juga bisa disebut berakhir sebab kehilangan koherensi idiologisnya karena perkembangan politik di Kuba. Pada tahun 1971, penyair Heberto Padilla ditangkap oleh pemerintahan Castro dengan tudingan kontra-revolusioner. Perkembangan ini pun memicu keretakan antar sastrawan dan cendikiawan Amerika Latin; antara yang masih meyakini arah Revolusi Kuba (seperti Garcia Marquez) dan dengan yang menganggapnya sudah tak beda dengan kediktatoran militer lainnya (seperti Vargas Llosa).

Walaupun demikian--lagi-lagi menurut Ronny--dalam kasus berseterunya Garcia Marquez dan Llosa, ia menyebutkan dalam tulisannya yang lain (2011: Saat Maestro Membaca Maestro, Sebelum “Lo. Gue. End.”), ada beberapa hal lian yang entah, penyebab bersitegangnya dua orang yang asalnya bersahabat ini dan akhirnya memutuskan untuk selamanya tak saling sapa. Keduanya adalah teman akrab. Saking akrabnya, sampai-sampai Garcia Marquez menjadi bapak baptis anak Vargas Llosa. Tetapi pada tahun 1976, persahabatan itu ambyar begitu saja setelah keduanya beradu jotos di sebuah bioskop di Mexico City.Dan keduanya bungkam untuk alasannya, hingga kita hanya bisa menerka-nerka.

Pertama saya membaca terjemahan dari karya sastra Amerika Latin adalah buku Rumah Kertas karya Carlos Mario Dominguez (diterjemahkan oleh Ronny Agustinus), seorang penulis asal Argentina. Kemudian saya bertemu dengan novel Rumah Arwah di lapak Kang Redy, di JL. Dewi Sartika. Diterjemahkan dari La Casa de Los Espiritus karya Isabel Allende yang alih bahasanya juga oleh Ronny Agustinus.

Lalu saya mendapat buku terjemahan ketiga dari khazanah sasta Amerika Latin di bazzar buku-nya Mang Mughni Kebul di parkiran DPR, berjudul Siapa Pembunuh Pedro Palomino? karya Mario Vargas Llosa yang juga diterjemahkan oleh Ronny Agustinus. Hingga pada buku keempat terjemahan karya sastra Amerika Latin berikutnya adalah Seratus Tahun Kesunyian yang diterjemahkan oleh Djokololeno.

Seperti pada Rumah Arwah karya Isabel Allende denga tiga generasi wanita tangguh yang mengisi rumah besar Esteban Trueba, saya dapati juga wanita-wanita tangguh lainnya dalam Seratus Tahun Kesunyian. Mereka adalah pilar-pilar penopang kokohnya rumah besar Buendia; Ursula Iguaran sedari muda hingga beratus tahunpun masih begitu perhatian pada keluarganya walau cahaya telah terenggut dari matanya, Santa Sovia de La Piedad yang mengurus segalanya dalam hening dan tak banyak cakap, mungkin sedikit juga untuk Fernanda, juga Amaranta Ursula yang setabah karang saat berpisah dengan keluarganya hendak pergi ke Belgia, dan senyumnya sesaat sebelum melahirkan bayi Aureliano (Rodrigo) dan kehilangan banyak darah hingga ajal menjemput.

Sastra Amerika Latin tentunya bukan hanya keempat buku di atas yang baru saya baca. Masih banyak sekali buku yang harus dibaca, semisal para penulis sebelum era boom, karya-karya penulis boom yang lain, para penulis pasca-boom, juga penulis yang mendaku neoliberarisme magis atau yang popular disebut McOndo (Mc Donal’d, Machintos, Codominium) yang mengkritik beberapa penulis bergaya realisme magis di angkatan Garcia Marquez, yang menurut mereka kaidah literer yang dipakai oleh generasi Marquez, sudah tidak relevan lagi untuk menggambarkan kompleksitas Amerika Latin (Ronny Agutinus, Sastra Amerika Latin: Tak Hanya Sekedar Macondo vs McOndo, dalam SK Kompas, Minggu 23 April 2006).

Itu hanyalah setetes air dari mata air khazanah kesusastraan yang merupakan bagian kecil dari luasnya lautan sastra dunia. Saya pernah sesumbar untuk berharap berumur panjang, diberkahi kesehatan dan materi yang cukup agar dapat membaca semuanya.

Namun, apalah daya, seperti halnya nasihat yang ditulis oleh orang Catalonia pemilik toko buku di dekat rawa-rawa kepada empat sekawan (termasuk Aureliano Babilonia) dalam sebuah surat yang ditulisnya dengan tinta berwarna ungu, “…bahwa apapun yang mereka ingat tentang masa lalu adalah dusta, bahwa kenangan takkan berulang, bahwa semua musim semi beralu tanpa bisa diraih kembali, dan bawha cinta paling liar dan paling gigih pun pada akhirnya tak pernah kekal.” (Seratus Tahun Kesunyian, hal. 466). Nyatalah, tiada kesempatan kedua dalam hidup.***

*) Sedang merintis podcast Jurnal Tengkat, bisa diakses di platform macam Anchor dan Spotify. Berita-cita segera lulus kuliah (sudah lulus, tapi belum wisuda, haha) dan menghidupkan kembali Bangbung Ranggaék yang sedang mati suri terkena terperangkap Mugen Tsukuyomi dan kepingin bikin toko buku kecil di sisi jalan sepi. Ulasan ini ditulis pada 01 November 2019.

Daftar Bacaan
Teman-teman bisa mengakses lebih jauh informasi lebih banyak dari:


Agustinus, Ronny. (2006). Sastra Amerika Latin: Tak Hanya Sekedar Macondo vs McOndo. SK. Kompas, Minggu 23 April.

Agustinus, Ronny. (2011). Saat Maestro Membaca Maestro, Sebelum “Loe. Gue. End.” Diakses dari; http://www.sastraalibi.blogspot.com/ /2011/09/saat-maestro-membaca-maestro-sebelum-lo.html. pada Kamis, 31 Oktober 2019, pukul 23:00 WIB.

Agustinus, Ronny. (2017). Fiksi Amerika Latin Pasca-Boom. Makalah untuk diskusi meja bunder di Komunitas Salihara, 28 Oktober.
Kuria, Anton. (2006). Ensiklopedi Sastra Dunia. Jakarta: I:Boekoe, cet-1.


Marquez, Gabriel Garcia. (2018). Seratus Tahun Kesunyian. Diterjemahkan Djokololeno dari One Hundread Years of Solitude, edisi bahasa Inggris diterjemahkan oleh Gregorry Rabasa dari bahasa Spanyol, Cien anos de Soledad (1967). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, cet-1.


Komentar