Mendadak Vegan*


Oleh: Fikri A. Gholassahma
 


Apa yang terjadi di lelap mimpi? Dedaunan tumbuh, akar mencuat dari tanganmu, bunga bermekaran di selangkangan, engkau…menembus bumi.

Mr. Cheong mendapati istrinya diam membatu di depan kulkas yang terbuka, bergelap ria di dapur jam empat subuh. Terus saja pada posisi itu membeku, tak ada jawab walau Mr. Cheong berusaha menghujaninya dengan tanya. Dari mulut kaku istirnya — Kim Yeong Hye — akhirnya hanya terdengar dua patah kata, “aku bermimpi.”

Pada pagi yang sama, karena panik bangun kesiangan sebab kejadian semalam, ia hendak marah kepada sang istri, tapi hebatnya malah ia temukan istrinya di tempat yang sama; dengan dikelilingi banyak bahan makanan dari unsur hewani yang berhamburan di lantai, seolah dibuang begitu saja dengan sengaja. Saat ia benar-benar naik pitam dan minta kejelasan dari kejadian itu, istirnya hanya menjawan dengan dua kata yang sama “aku bermimpi.”

Mulai banyak hal aneh terjadi setelah kejadian itu. Di malam hari yang sama sepulangnya dari kantor, istrinya hanya menyajikan masakan yang terbuat dari sayur-mayur saja, tidak ada unsur hewani. Entah apa yang terjadi, padahal dari sejak ia berpacaran dan menikah beberapa tahun itu, istrinya tidak pernah berperilaku seaneh ini. Ia tahu betul bahwa istrinya menyukai daging, Yeong Hye dibesarkan dari keluarga yang sangat menyukai santapan berbahan dasar daging, terutama ayahnya yang seorang mantan veteran.

Ia menyangka mungkin istrinya sedang mengikuti semacam program diet a la vegetarianisme. Tapi yang menjadi soal di sini adalah begitu mendadaknya sang istri berubah, dan sebab janggal apa yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut. Keanehan, mencekam, bergam hal ganjil dan peristiwa-peristiwa tak terduga lainnya bermunculan.

Begitulah kurang lebihnya hal aneh yang terjadi dalam novel yang baru selesai saya baca. Vegetarian adalah novel karya seorang penulis asal Gwangju, Korea Selatan, bernama Han Kang. Dua dari karyanya, 'Human Act: A Novel' dan 'The Vegetarian: A Novel' telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dan Vegetarian membawanya meraih Man Booker Prize tahun 2016. Untuk edisi bahasa Indonesianya telah diterbitkan sejak Februari 2017 lalu oleh penerbit Baca (Bentara Aksara Cahaya), hasil terjemahan Dwita Rizkia langsung dari bahasa Korea dengan judul asli 'Ch’aesikjuuija.'

Tersusun dari tiga bagian, semuanya diambil berdasarkan sudut pandang orang ke tiga. Bagian awal diberi judul 'Vegetarian’, sang suami (Mr. Cheong) adalah narator. Di bab ke dua, 'Tanda Lahir Kebiruan’, cerita dikisahkan oleh Kakak Ipar Young Hye yang merupakan seniman visual dan punya hasrat seksual terpendam padanya. Terakhir, 'Pohon Kembang Api’, lewat In Hye — sang kakak — lah kita mengikuti alur cerita ini. Yeong Hye si protagonis novel ini hanya hadir dalam dialog-dialog singkat, dan beberapa narasi tersendiri tentang fragmen-fragmen deskripsi absurd dalam mimpinya.

Pada mulanya saya tertarik dengan novel ini setelah membaca ulasan dari Eka Kurniawan. Menurut Eka dalam esainya yang berjudul "The Vegetarian, Han Kang (Maret, 2016)," alasan utama novel ini menarik adalah karena karakter-karakternya kuat. Tentu saya sepakat, tapi saya pribadi menaruh rasa takjub pada alur dan deskripsi yang kuat di dalamnya. Han Kang— menurut saya pribadi tentunya — berhasil menggiring saya sebagai pembaca pada bermacam suasana; mencekam, kelam, dibikin penasaran, juga menakutkan. Kiranya ini juga terwujud berkat penerjemahan yang baik.

Saya jadi teringat sebuah istilah dari seorang teman pembaca karya-karya Franz Kafka, yakni 'Kafkaesque’. Istilah ini mengacu pada hal-hal yang berbau kelam, ngeri, mimpi buruk dan menakutkan. Istilah ini lahir dari karya-karya Franz Kafka di antaranya ‘Metamorfosis’ (berkisah tentang seorang yang bermimpi, lalu saat terjaga sudah berubah jadi kecoa). Vegetarian sangat-sangat kafkaesque.

Novel ini nyatanya tidak banyak menyinggung seputar vegetarianisme sebagai ideologi dan hal fundamental lannya. Dimulai sejak penolakan Yeong Hye pada bahan makanan hewani, sampai ia menolak sama sekali untuk makan apapun. Tapi dari celah inilah Han Kang dengan apik memulai semuanya, tentang sesuatu yang mendadak dan alasan yang asal-usulnya kabur, namun dapat membuat porak-poranda semua tatanan hubungan yang semula — seolah-olah — damai dan baik-baik saja.

Mungkinkah Menyikap Tabir Mimpi?

Sampai saat ini saya masih bingung bila ada desakan untuk menjelaskan apa itu mimpi. Kadang seolah ini hal sepele, para orang tua biasanya hanya akan menyebut bahwa itu tak lebih dari kembang tidur semata, tak berkaitan dengan hal-hal khusus macam petanda keberuntungan atau merujuk hal nahas yang bakal menimpa.

Di lain sisi— mimpi — jadi hal menarik yang bahkan sejak purba hingga dewasa ini banyak mengundang bermacam tafsiran atasnya, penanda akan banyak hal besar yang — bukan sekedar kembang tidur perorangan saja — tapi tak jarang tafsiran atasnya bisa menuntut langkah yang menentukan hajat hidup orang banyak.

Kisah para utusan Tuhan yang kita percayai misalnya; titah penyembelihan Ismail datang di mimpi Ibrahim; siasat ketahanan pangan untuk menghadapi paceklik panjang, tafsiran atas penglihatan Yusuf di kembang tidurnya; syariat-syariat peribadahan untuk umat, kadang juga datang lewat mimpi Muhammad.

Mimpi juga mendapat ruang berarti pada wacana intelektual di masa modern. Satu yang terkemuka di antaranya adalah Sigmund Freud. Bagi Freud, mimpi menyodorkan petunjuk tentang alam bawah sadar manusia.

Dalam “The Interpretation of Dreams,” Freud memaparkan bahwa sejatinya mimpi merujuk pada bermacam hal yang ditekan oleh alam bawah sadar, walaupun itu sebuah mimpi buruk sekalipun. Ia juga meyakini peristiwa-peristiwa dalam mimpi, pastilah erat terkait dengan keinginan seseorang di masa belianya yang tak terwujud/terlaksana.

Beberapa karya sastra kadang dibedah dengan meminjam analisis dari Freud. Misalnya pada kasus Gregor Samsa, si tokoh utama dalam cerita ‘Metamorfosis’-nya Franz Kafka, pasalnya ini semi otobiografis, diduga mengandung relasi Kafka dengan Hermann (sang ayah yang opresif) beberapa mengaitkannya dengan fenomena 'Oedipus Complex a la Freudian’.

Firda Kurniawati dalam ulasannya yang berjudul 'Menyelami Lapisan Riak-Riak Kafkaesque' (basabasi.co, 2017), menyebut satu di antara riak kafkaesque itu berupa ketidak berdayaan seseorang terhadap kuasa yang lebih tinggi, sebagaimana tercermin pada kisah Gregor yang mengalami ‘Oedipus Complex' (memendam hasrat kepada sang ibu) tapi dipaksa menekan hasratnya sebab takut akan sosok ayah yang lebih superior.

Atau siapa tahu barangkali hal janggal yang terjadi pada Yeong Hye adalah semacam trauma mendalam? Karena perlakuan kasar ayahnya semasa ia kecil, memaksanya untuk menekan hasrat-hasrat pemberontakan dan akhirnya menyeruak dalam mimpi yang timpang dan tumpang-tindih pada keseharian, antara yang hayal dan nyata, berakhir jadi semacam delusi akut.

Tetap saja saya tak tahu pasti tentang mimpi. Banyak hal unik dan terlampau muskil yang masih belum terungkap dalam kehidupan ini. Manusia murung, bergairah, sesekali tertawa di lain waktu merana. Barangkali Han Kang juga punya keresahan yang sama. Lewat tokoh In Hye, ia menyampaikan rasa herannya akan hal ini,

"hidup itu aneh," pikirnya setelah selesai tertawa. "Manusia tetap makan dan minum, buang air, mandi, serta terus melanjutkan hidup mereka apapun yang terjadi meski hal sangat tragis telah menimpa hidup mereka," (Vegetarian, hal. 203).

Lara dan nestapa separah apapun menimpa, seolah hanya dua pilihan yang tersisa; melanjutkan hidup, bila tidak, mungkin lebih baik mati saja.

Saat gema takbir berkumandang, saya baru rampung membaca Vegetarian. Meski masih banyak menyisakan tanya dan dibuat penasaran bukan main atas kelanjutan dari kisah Yeong Hye ini. Apa itu mimpi? Bagaimana sejatinya mekanisme hidup, mengapa ada gembira saat di suatu penjuru pada belahan dunia yang lain ada orang-orang yang tumbang dihujani nahas dan terpuruk frustrasi. Khatib Ie’d besoknya malah menukil perkataan imam Ali Ra. yang masyhur, dan malah bikin saya tambah gusar,

"النَّاسُ نِياَمٌ، فَإذَا مَاتُوْا انْتبَهُوْا..."

"Manusia sejatinya sedang lelap tertidur, saat ketika nanti mereka semua mati barulah terbangun..."

Benarkah kita semua menjalani hidup dengan penuh kesadaran? Ataukah mungkin hanya sedang bermimpi hidup dalam lapis kehidupan mimpi yang lain? Bila memang iya, Vegetarian adalah salah satu dari sekian banyak kisah bagus untuk dibaca dalam mimpi yang berlapis ini, sebelum pada akhirnya kita benar-benar terjaga.***

*) Tulisan tahun 2019, setelah sekian lama, saya berusaha bikin resensi lagi. Intensitas membaca sempat menurun, beruntung terselamatkan oleh novel Vegetarian ini yang saya dapat dari Pustaka Azimut-nya Mang Jajang, nuhun pisan, Mang!

Komentar