Oleh: Fikri A. Gholassahma
Paman meminjamkan Dawuk-nya Mahfud Ikhwan kepada saya beberapa hari yang lalu. Saya tahu betul buku itu, ikut menyaksikan Paman mengaisnya di antara deretan buku baru yang bertumpuk dengan rapi di suatu toko buku yang kerap kami kunjungi, kala ada uang. Sebuah toko buku di Jalan Supratman tepatnya.
Bila tak salah ingat, waktu itu kami — sebenarnya paman sih yang benar-benar beli buku, dengan nawaitu supaya jadi bahan bacaan yang bisa bergantian dibaca oleh wadyabalad Bangbung Ranggaék, sebuah komunitas di kampung yang tengah kami rintis — mengantongi Dawuk karya Mahfud Ikhwan, 1984-nya George Orwell, Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan-nya Tasaro GK. dan satu novel Alice Munrou berjudul Dear Live.
Paman langsung menggarap karya Tasaro GK. dan jatuh cinta padanya beberapa hari kemudian. Sementara saya membawa Dear Live-nya Alice Munrou — dan tahukah anda, hingga saat ini buku tersebut sama sekali belum selesai saya baca. 1984 karya Orwell paling fenomenal tersebut, Mang Jajang pinjam saat kami berkunjung ke kamarnya di Margaasih. Sementara Dawuk, A Adi Tahir carter untuk beberapa saat, sambil menjanjikan bikin semacam apresiasi dari buku tersebut buat mengisi salah satu rubrik resensi di buletin Sirung yang sedang kami garap. Dan hampir sudah empat bulan sejak itu, Dawuk baru kembali ke paman, tanpa resensi dari A Adi. Mengingat begitu sibuknya ia, sudah barang tentulah tak sempat buat resensi.
Kami sedang merencanakan penerbitan Sirung edisi 3 dan 4 saat ini. Tema besarnya mengenai Alf Laylah wa Laylah/Cerita Seribu Satu Malam yang tersohor itu. Hampir sebagian wadyabalad Bangbung Ranggaék pernah tadarusan kisah tersebut. Sayang hanya berlangsung beberapa bulan saja, dan pada akhirnya terpaksa berhenti karena alasan ini-itu. Barangkali karena tuntutan memenuhi stok tulisan buat mengisi rubrik-rubrik yang masih kosong di Sirung, saya dan paman kembali lagi membaca beberapa literatur terkait kisah-kisah tuturan Syahrazad tersebut.
Memang Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu (2017) datang di saat keadaan agak genting. Kami betul-betul sedang kewalahan menghadapi kejamnya deadline. Hari ini adalah tanggal ke tiga di bulan Januari 2018, dan Sirung untuk edisi November-Desember 2017 belum jua rampung. Setelah paman minta izin buat menunda dulu bacaan terkait Alf Laylah — karena ingin membaca Dawuk — kini buku itu ada di tangan saya. Dan baru saja sebelum adzan Ashar petang tadi berkumandang, karya Mahfud Ihwan itu baru selesai saya baca. Dan Sirung, ya, Sirung…tertunda lagi proses penggarapannya.
Sebetulnya tidak butuh waktu lama buat membacanya. Untuk ukuran standar sebuah novel tak terlalu tebal. Tapi selama proses menyusuri kata demi kata — percobaan membaca pertama — saya kerap diterjang badai malas, lantas kandas dan berhenti. Hanya 181 halaman tebalnya. Berbeda dengan dua novel pendahulunya — Ulid Tak Ingin Ke Malaysa (2009) dan Kambing dan Hujan (2015) — yang tebal-tebal. Walau Ulid belum saya baca, namun seperti Kambing dan Hujan, Dawuk akhirnya bisa saya baca tanpa banyak interval kemalasan di percobaan membaca ke dua — kecuali untuk ambil makan, pergi sembahhyang dan buang air.
Saya sempat kebingungan menentukan narator di kisah ini. Bermula dengan latar aktifitas di warung kopi, si pengarang menghadirkan Warto Kemplung sebagai pembuka ceritera, membuat pendengar (atau siapapun yang mau mendengarkan) di seisi warung kopi penasaran akan kisah sendu nan kelabu juga berdarah-darah.
Warto digambarkan sebagai seorang storyteller yang dipandang sebelah mata; justru karena kebiasaan berceriteranya ini, cap tukang rahul melekat padanya (kemplung adalah bahasa Jawa yang artinya si pembual). Bila Syahrazad mendongeng kepada raja Syahrayar buat memanjangkan hidup juga selamat dari maut, Warto mendongeng untuk memanjangkan kenikmatan merokok dan ngopi secara cuma-cuma. Tapi, inilah salah satu hal yang saya suka dari Warto. Diam diam dalam hati, saya sepakat dengan anggapan narator — bahwa Warto — setidaknya mewarisi tradisi dan tekad Syahrazad — tokoh penceritera Seribu Satu Malam — sebagai penutur kisah jua penggubah ceritera.
Sedikit saja, misalnya, di bagian kala Warto mencoba membuat suspense pada tengah tengah kisah pucuk konflik, malah berhenti dan baru esok harinya melanjutkan ceritera. Ia juga menyindir orang-orang di warung kopi yang kasak-kusuk akan validitas ceriteranya dan pura-pura tak tertarik dengan penghujung kisahnya, atau mungkin sindiran pada siapa saja yang menganggap remeh pada kekuatan dongeng,
“…Tentu saja harus kumaklumi jiwa-jiwa kering kerontang dan patut dikasihani macam kalian ini,” lanjutnya, lebih tajam, lebih menggebu, seperti seorang guru yang tengah menasehati murid-muridnya saat gagal ujian. “Sungguh malang orang-orang yang tak mengenal betapa indah cerita dan kisah, betapa menggetarkannya dongeng dan legenda,” kepalanya menggeleng. Wajahnya dipenuhi nuansa keprihatinan. (Hal. 87- 88).
Ini kisah berpusat pada penceriteraan asmara antara dua sejoli, Mat Dawuk dan Inayatun. Dua sejoli yang di mata masyarakat sekitarnya begitu lekat dengan stereotipe negatif. Berlatar kehidupan sosial di sebuah desa bernama Rumbuk Randu yang berubah karena tanaman komoditas dan belakangan ramai oleh kebiasaan kerja jadi buruh migran.
Hingga di saat setelah konflik memuncak, tokoh narator — yang sebelumnya saya anggap adalah si pengarang sendiri, yang (dikira) membebankan amanah kepada Warto Kemplung agar menarasikan kisah Mat Dawuk — malah turut hadir, berbagi rokok denga Warto dan dibuat penasaran oleh ceritanya di warung kopi Bu Siti. (Di sinilah kerap saya berdecak kagum pada si pengarang, “édan euy!” pekik saya dalam hati.)
Ternyata ia adalah seorang wartawan di sebuah media cetak lokal, bernama Mustofa Abdul Wahab. Ia dibuat penasaran dan punya niat menceritakan kembali kisah Mat Dawuk tersebut. Mencoba melakukan penelusuran lebih lanjut terkait seberapa jauh kebenaran kisah Mat Dauk ini; siapa sebenarnya Warto Kemplung yang menurut kesaksian Bu Siti sebenarnya bernama Anwar Tohari; Sebuah berita tentang kebakaran kandang sapi di Rumbuk Randu hasil tulisan anak magang di korannya yang ia baca sepintas lalu; juga tentang cerbungnya yang terinspirasi dari kisah Warto, yang setelah pemuatan ke-empat, datang padanya seorang yang mengaku bernama Mat. Menganjurkan (atau mengancam?)-nya agar berhenti menulis dan supaya tak memercayai apa yang Anwar alias Warto ceritakan.
Novel yang tak berapa lama ini dapat anugrah Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori fiksi, menurut saya, mencoba mengangkat kembali peran dongeng/pendongeng sebagai perwakilan sastra lisan yang kian tenggelam. Dialog-dialog di karya Mahfud memang kuat, setidaknya itulah ciri khasnya yang saya tangkap. Sepintas terlihat ada usaha memadukan kembali kekuatan tradisi lisan dengan tradisi tulisan dengan cukup ciamik. Walau mungkin kita juga bersepakat, bahwa para pengarang lainpun sama halnya mewarisi semangat Syahrazad sang pendongeng: buat menyusun kisah demi kisah. Menyebar dari mulut ke mulut, hinggap di dada dan ingatan hingga jauh sampai ke antah-berantah. Atau mungkin hanya menguap saja. Mungkin juga tak ubahnya bak memasukkan sebuah pesan ke dalam botol, agar kelak, suatu waktu terbawa gelora ombak, sampai ke lain pulau dan ditemukan, hingga kemudian ada yang membacanya. Atau hanya terombang- ambing di gelora lautan saja.
Oh, ya! Jangan lupakan juga soal film India dan original soundtrack-nya. Ini juga jadi salah satu unsur baik dalam cerita Mahfud, yang kerap buat saya googling tiap judul lagu (terutama karena minimnya wawasan akan film India tahun 1980-an) yang acap jadi backsound buat ngawawaas suatu adegan tokoh rekaannya.
Lagi, fragmen-fragmen yang kerap membuat saya rada ngahuleng tarik; mana yang sebetulnya fakta dan fiksi? Walaupun dengan penuh kesadaran, saya sebagai pembaca telah tahu; bahwa dalam sebuah karya sastra, bila menemukan sebuah fakta, kita sebagai pembaca tak bisa langsung menelannya bulat-bulat. Tapi ini kerap buat saya terkecoh. Ala kulli hal, semacam tembuasan dari saya, rasanya Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu bisa masuk dalam daftar novel yang ciamik untuk anda baca. Sila, kawan-kawan. Buktikan sendiri. Kalau saya, mau ke Sirung lagi***
*Sekretariat Bangbung Ranggaék, Januari 2018.
[1]. Pembacaan sederhana terhadap novel terbaru Mahfud Ihwan berjudul Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu (2017), terbitan Marjin Kiri. Semoga tidak jadi spoiler.

Komentar
Posting Komentar