“Ihwal Nasihat (Mitos) Menulis Harus dengan Bahasa yang Indah”

 

Oleh: Fikri A. Gholassahma

 

Saya sedang keranjingan membaca pengalaman para penulis, editor, dan orang-orang yang bergelut dalam bidang kepenulisan. Pengalaman mereka bertemu buku, membaca, dan menulis, bak oase di tengah sahara bagi saya, si musafir yang tengah tersesat dalam badai pasir proses kembali belajar menulis.

Pada perjalanan itu, saya baca satu tulisan yang sangat membekas dan bikin saya kepikiran sampai saat ini. Berjudul “Pengarang dan Gaya Kepenulisannya,” yang Addi M Idham dalam buku “Memikirkan Kata: Panduan Menulis Untuk Semua (2019)” menerjemahkannya dari judul “The Author and His Style” karya Louis Dodge (1870-1952).

Pada paragraf pembuka tulisan itu, Dodge berkata, “ kerap para penulis pemula yang menekuni penulisan sastra terjebak pada motivasi membentuk gaya tulisan yang indah. Padahal, ide soal gaya penulisan, bisa jadi adalah mitos” (hal. 41). Dodge menutup pernyataanya dengan satu kalimat yang bikin saya tertampar, “Pemenuhan ambisi itu tak menjamin para penulis pemula akan menjadi pengarang besar,” pungkasnya.

Sebagai seorang yang sempat bercita-cita jadi penulis—walau asa itu kerap timbul-tenggelam—saya punya satu pendorong yang cukup kuat untuknya, mungkin karena satu waktu semasa sekolah, saya pernah membaca sebuah tulisan yang ditulis dengan gaya bahasa sangat indah. Bukan main indahnya.

Saya berani mengatakan demikian, walaupun saat itu saya masih muda dan tentu nirbekal soal seluk-beluk kebahasaan, apalagi kepenulisan—hingga saat inipun masih begitu. Tulisan yang saya baca waktu itu adalah sebuah cerita berjudul “Tulung-tinulungan”,  sebuah fabel dalam bahasa Sunda karya Akub Sumarna.

Sebetulnya yang ingin coba sampaikan, sejauh ini prasangka saya pada cerita itu, penulisnya sangatlah ahli, piawai mereka bahasa, hingga saya yang pandirpun dapat mengerti dan ikut menikmati tulisannya, bahkan berani menyebutnya indah. Inilah salah satu pendorong mengapa saya ingin jadi penulis; ingin bisa merangkai kata dengan indah, bisa menyampaikan yang saya rasakan. Karena anggapan saya, dengan bahasa yang indah besar peluang pesan yang saya utarakan bisa sampai, selebihnya  bisa mengetuk relung hati pembaca.

Tapi agaknya saya terlalu gegabah dan cepat menyimpulkan. Louis Dodge akhirnya mengajak saya untuk kembali merenungkan tujuan saya menulis. Nasihatnya utuk penulis pemula dengan ambisi seperti saya adalah, “kalau mau menulis dengan baik, tulis saja kalimat yang lengkap diawali huruf kapital dan diakhiri dengan titik. Jika ingin tulisan berkualitas maka sampaikanlah sesuatu, ungkapkan sebuah gagasan!”  tegasnya.

Walau terdengar agak sedikit sinis, memang begitulah adanya. Karena seringkali sibuk mereka-reka bahasa agar terkesan indah, acapkali saya lalai soal tujuan saya menulis; apa yang sebetulnya ingin benar-benar saya sampaikan.

Di dunia ini, tidak pernah ada cerita bagus tanpa membawa ide segar dan otentik, bagi Dodge, gaya penulisan yang buruk tidak datang dari karakter penulisan yang membosankan. Tapi karena memang si pengarang hanya punya sedikit gagasan untuk diungkapkan. Saya betul-betul insaf soal ini.

Dodge kemudian memberi beberapa tamsil yang relevan dengan pernyataannya.  Ia menyebutkan bahwa kisah-kisah dari masa silam, seperti Mahabarata atau kisah Seribu Satu Malam, mampu kekal dan memikat para pembaca pada setiap zaman yang berbeda, alasan utamanya bukan karena karya-karya itu ditulis dengan bahasa yang indah, melainkan karena memuat ide dan gagasan otentik megenai siapa itu manusia. Saat kita menemukan seorang penulis dengan gaya penulisan yang menawan, pastilah ia pengarang yang menawarkan gagasan besar untuk pembaca.

Selanjutnya papar Dodge, banyak pembaca sastra di awal abad 20 memuja gaya penulisan Joseph Conrad (1857-1924). Conrad memiliki gaya penulisan yang luar biasa, ia lihai menyulap bahasa, punya ciri khas tersendiri tentang banyak hal untuk dikatakan ketimbang penulis yang lain. Dodge berani menyatakan, Conrad sebenarnya tidak terlalu memikirkan bahasa, tetapi justru lebih berkonsentrasi pada fakta, episode, adegan yang akan dipaparkan ke pembacanya. “Dan diapun berhasil mengatakan “sesuatu” kepada kita (hal.42),” kata Dodge.

Apa yang dominan disarankan Dodge kepada para penulis muda saat disibukkan atas saran membentuk gaya bahasa, sebetulnya mungkin maksudnya adalah cara menyampaikan gagasan. Ia berasumsi, bisa jadi maksud dari cara menyampaikan dan gaya penulisan adalah satu hal yang sama. Tapi cara menyampaikan kata-kata (penempatannya) menentukan kesan pembaca. Yang agaknya benar-benar harus saya ingat dari nasihat Dodge adalah, “jangan berpikir panjang tentang bagaimana mengatakan sesuatu, tetapi berfokuslah memilih hal yang tepat unuk diceritakan”.

**

Pada perenungan atas nasihat-nasihat Dodge tersebut, tiba-tiba terlintas di pikiran saya soal pengertian kalāmullāh dan Rasulullah bermujizat jawāmi’ al-kalim. Sabtu lalu, pada satu kumpulan, paman saya pernah mengungkap perbedaan makna kata kalām dan kalim dalam bahasa Arab. Kalam menurutnya (belakangan baru saya tanyakan, paman mengutip dari Ibn al-Anbari) adalah sebuah kalimat yang pasti memiliki faedah (lā budda fīhi fāidatun). Sedangkan kalim, adalah kata yang bisa jadi berfaedah ataupun tidak (mā fīhi fāidatun, mā laisa fīhi fāidatun).

Al-Qur’an adalah kalāmullāh, jika merujuk pada konsep di atas, berarti, seluruh ayat yang ada di dalamnya sarat akan faedah bagi umat manusia. Dan mungkin penyebab mengapa para ulama menegaskan kalāmullāh ini shālihun li kulli zamānin wa makānin, karena faedahnya melampaui ruang dan waktu. Dan mujizat nabi Muhammad SAW berupa jawami’ kalim (ucapan yang ringkas namun bermakna luas) yang tidak hanya indah dari segi bahasa, namun merupakan gagasan besar  dan pas (atas tuntunan wahyu), yang ummatnya harus taat akan hal itu.

Saya rasa ada satu kemiripan antara Al-Qur’an (kalamullah)  dan jawami’ kalim nabi dalam hadits-haditsnya yang sampai pada kita, dengan beberapa karya sastra terpilih verisi Dodge tadi. Keduanya mampu langgeng dan memikat pembaca dari masa ke masa (di samping pada kasus Al-Qur’an dan hadits, ada faktor ta’abudi bagi umat muslim) mungkin juga karena kandungan gagasan dan ide-ide besar di dalamnya.

Bila boleh saya meminjam istilah Dodge, Al-Qur’an dan jawāmi’ kalim nabi (dalam segi tertentu) punya sesuatu yang layak diketahui dunia, sesuatu yang (mungkin) membuat setiap pembaca menemukan suluh untuk melihat ujung kegelapan; jadi cahaya dan petunjuk dalam kehidupan.

Dari segi kebahasaan, sudah tak bisa dimungkiri bahwa Al-Qur’an melekat dengan keindahan bahasanya, begitupun jawāmi’ kalim. Komposisi keduanya terbentuk dari keindahan bahasa dan pemilihan pas pada rangkaian penyampaian gagasan.  Tetapi kadang kala, keindahan ini seolah tidak begitu berfaedah bila kita tidak tahu maknanya, tapi tidak serta-merta membuat keduanya menjadi jelek. Saya dan mungkin juga anda, haruslah insaf, mungkin kitalah yang masih terlalu bodoh untuk memahaminya.

Oh, ya, Dodge pun sebenarnya tidak menyangkal bahwa penulis-penulis besar, dalam perjalanan kepenulisannya belajar soal tata bahasa, stilistika dan etimologi, walaupun nantinya hal-hal tersebut merak tinggalkan, karena kebanyakan fokus mereka beralih kepada menyampaikan gagasan.

Sebenarnya saya agak kurang setuju pada Louis Dodge soal saran untuk tidak mementingkan belajar gaya bahasa (untuk keperluan keindahan tulisan) dalam proses permulaan bagi siapapun yang belajar menulis. Mungkin saya terlalu jumawa untuk pernyataan ini.  

Tapi betatapun demikian, rasa setuju saya condong padanya dalam hal harus benar-benar sadar dan terfokus pada apa yang hendak kita sampaikan dengan tepat dan sejelas mungkin (li muqtadhal al-hāli, sesuai dengan tuntutan keadaan) tanpa mengesampingkan soal gaya bahasa. Saya harus belajar kembali, bercermin dari rangkaian kalāmullāh, hadits-hadits nabi, dari pengalaman para penulis besar atau dari siapapun itu. Megingat, proses belajar menulis bukanlah hal yang instan, yang kata Ernest Hemingway (1899-1961), harus kita sadari soal menulis adalah  pertama, ia harus tahu subjek yang hendak diceritakan, lalu tahu caranya menulis, dan keduanya perlu latihan seumur hidup. Sungguh tiada jalan pintas.***

  

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

  1. Terima kasih atas ulasannya, Wa.. seru!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak sudah menyempatkan waktunya untuk membaca, Midd. Saya sedang berusaha membangun kebiasaan belajar mengulas bacaan lagi, semoga tidak selalu kalah sama malas, haha. Salam buat Hamid sekeluarga, ya!

      Hapus
    2. Amin amin... lancar terus, Wa.. saya selalu nunggu tulisan² berikutnya...

      Hapus

Posting Komentar